Layanan Konseling di Sekolah. Ada baiknya kita mencermati hasil penelitian DYP. Sugiharto (2006) guna refleksi diri. Ditemukan bukti adanya tafsir pelaksanaan bimbingan yang tidak tepat tentang bimbingan yg menjadikan guru pembimbing masih melaksanakan kegiatan yang mengganggu dan membahayakan keprofesionalan BK, yang dalam bentuknya seperti melaksanakan pembuatan peta kelas, merazia peserta didik, menjadi petugas jaga/piket, mencari pencuri bila terjadi kehilangan di kelas/sekolah, membuat perjanjian dengan peserta didik yang bermasalah, dan menerapkan sistem TU dalam kinerjanya. Secara lebih khusus diperoleh temuan terkait dengan kinerja konseling perorangan, bahwasanya konseling dilakukan dengan tidak ada penstrukturan konseling, penggalian data tidak lengkap. Konselor larut dalam konseling. Konseling yang dijalankan tak lebih dari omong-omong biasa. Semakin bertambah usia konselor ada kecenderungan untuk memberikan nasehat dalam konselingnya, tidak ada tahap-tahap konseling yang ditegakkan. Tahap-tahap konseling yang harus dilalui kurang mereka pahami. Konseling dilaksanakan dengan tanpa penggalian perasaan, sikap dan kepribadian klien. Dan oleh karena itu klien menjadi tidak siap untuk terlibat dalam konseling. Pada tahap awal konselor tidak mampu mendefinisikan masalah peserta didik, terlebih pada keterampilan mereka dalam mengaplikasikan teknik-teknik konseling (dasar dan pendekatan) kurang. Konselor sering menampilkan ”profil orang tua” daripada ”profil konselor”. Masalah yang dibahas dalam konseling sering merupakan masalah sekunder, bukan masalah yang primer.